Ilustrasi jalan menuju Allah. Foto: istimewa. |
Dutaislam.or.id - Setiap orang yang menempuh perjalanan rohani pasti akan menghadapi berbagai tantangan. Tidak jarang, perjalanan ini diwarnai dengan rasa jenuh, bahkan putus asa.
Hal ini sering kali terjadi karena ketika mereka pertama kali bertemu dengan Allah melalui proses pengangkatan oleh guru mursyid, mereka tidak mendapatkan pengalaman rohani yang maksimal.
Dalam pengalaman mi'raj mereka, seringkali penyaksian terhadap kehadiran Allah Swt terasa hampa. Akibatnya, mereka tidak memberikan penghargaan yang pantas kepada-Nya.
Ketika pertemuan rohani itu hanya sebatas ritual, tanpa diimbangi dengan perasaan mendalam, perenungan, dan kontemplasi, perjalanan spiritual seseorang menjadi tidak bermakna. Allah Swt telah menginformasikan keadaan seperti ini dalam Al-Qur'an:
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى بَشَرٍ مِنْ شَيْءٍ ۗ قُلْ مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوسَىٰ نُورًا وَهُدًى لِلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيرًا وَعُلِّمْتُمْ مَا لَمْ تَعْلَمُوا أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
Terjemah:
"Dan mereka tak menghargai Allah dengan penghargaan yang pantas diberikan kepada-Nya tatkala mereka berkata: Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia. Katakanlah: Siapakah yang menurunkan Kitab yang dibawa oleh Musa, yaitu cahaya dan petunjuk bagi manusia yang kamu jadikan lembaran-lembaran yang kamu perlihatkan dan kebanyakan kamu sembunyikan? Padahal, kamu diajarkan apa yang kamu dan nenek moyangmu tidak mengetahuinya. Katakanlah: Allah. Kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya." (QS. Al-An'am: 91)
Ayat ini menggambarkan orang-orang yang baru menempuh perjalanan rohani, namun tidak merasakan kehadiran Allah yang nyata. Mereka berkata, "Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia."
Pernyataan ini muncul bukan karena Allah tidak memberikan petunjuk, melainkan karena mereka belum menemukan "rasa pertemuan" dengan Allah Swt. Ketidakmampuan mereka dalam memahami esensi perjalanan rohani membuat mereka tidak menghargai Allah sebagaimana mestinya.
Namun, bagi mereka yang menjalani perjalanan spiritual dengan bimbingan seorang Guru Mursyid, Allah sesungguhnya telah menurunkan "Kitab yang dibawa oleh Musa," yang dalam konteks ini merujuk pada bimbingan seorang guru yang memandu menuju pencerahan. Bimbingan ini adalah "Nur" dan "Petunjuk" bagi manusia.
Pengalaman mi'raj seringkali sulit diungkapkan dengan kata-kata, sehingga banyak ulama dan orang-orang ma'rifatullah menyusun pengalaman rohani mereka dalam bentuk syair, puisi, atau perumpamaan. Banyak dari pengalaman ini tersembunyi dalam bentuk ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang memerlukan penafsiran).
Seiring dengan perjalanan ini, seseorang diajarkan hal-hal yang tidak diketahui oleh dirinya dan orangtua sebelumnya. Dengan Nur (cahaya keimanan), mereka mendapatkan petunjuk yang membimbing mereka dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup.
Allah berfirman:
قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
Terjemah:
"Katakanlah: Allah. Kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya." (QS. Al-An'am: 91)
Bagi mereka yang memperoleh cahaya keimanan, tidak perlu terlalu risau dengan kegelisahan saudara-saudara seiman yang belum menemukan keyakinan mantap dalam mi'raj mereka. Kesabaran dan doa adalah kunci, karena setiap perjalanan spiritual memiliki waktunya sendiri.
Menghindari Stagnasi dalam Perkembangan Spiritual
Untuk menghindari stagnasi dalam perkembangan rohani, ada dua cara yang diajarkan dalam Al-Qur’an, yaitu:
- Berusaha dengan Sungguh-Sungguh Menuju Allah
Allah berfirman dalam surat Al-Insyiqaq:
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
Terjemah:
"Wahai manusia! Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk bertemu dengan Tuhanmu, sampai kamu benar-benar menemui-Nya." (QS Al-Insyiqaq: 6)
Setiap manusia diingatkan bahwa perjalanan spiritual adalah perjuangan yang memerlukan kesungguhan. Perjalanan ini penuh dengan rintangan, namun dengan ketekunan dan keikhlasan, kita akan sampai pada pertemuan dengan Allah.
- Menghadapkan Wajah dengan Lurus hanya kepada agama Allah
Dalam surat Ar-Rum, Allah Swt berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Terjemah:
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai fitrahnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." (QS. Ar-Rum: 30)
Menghadapkan wajah dengan lurus kepada agama Allah (dinullah hanifa) berarti selalu berusaha berada di jalan yang benar, sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Dalam menghadapi kesulitan atau kebimbangan, kita harus tetap berpegang pada prinsip agama yang lurus. [dutaislam.or.id/ab]