![]() |
Ilustrasi daging sapi dan daging kambing. Foto: istimewa. |
Oleh Muhammad Nasihul Wajih
Dutaislam.or.id - Salah satu syarat seseorang diperbolehkan menyembelih hewan ternak adalah beragama Islam. Dalam Al-Qur’an telah diterangkan secara jelas bahwa seorang Muslim hendaknya mengucap nama Allah ketika ingin menyembelih hewan, dan dalam periwayatan hadits juga banyak menerangkan hal tersebut.
Tetapi ada satu ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah membolehkan seorang Muslim untuk memakan sesembelihan orang-orang Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani).
اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُم
Terjemah:
"Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi mereka" (QS. Al-Maidah: 5)
Penyebab turunnya ayat ini sama dengan sebab turunnya ayat sebelumnya ayat 4 dikarenakan ayat ini adalah sambungan jawaban dari Allah tentang pertanyaan “Apa yang telah di halalkan bagimu....”.
Menurut Al-Qurthubi dalam kitabnya menjelaskan bahwa Adi bin Hatim dan Zaid bin Muhalhil bertanya “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami adalah kaum yang berburu dengan menggunakan anjing dan burung rajawali. Sesungguhnya anjing-anjing itu menangkap sapi, keledai dan kijang. Sebagian di antaranya ada yang dapat kami sembelih, namun sebagian dibunuh oleh anjing-anjing itu sehingga kami tidak dapat menyembelihnya Sementara Allah telah mengharamkan bangkai. Jika demikian, apa yang halal bagi kami?". Maka dari itu turun ayat ini sebagai jawaban.
Secara keseluruhan, ayat ini membahas dua konteks pembahasan, yaitu kehalalan sembelihan Ahlul Kitab dan kehalalan menikahi perempuan dari golongan Ahlul Kitab. Allah memperbolehkan umat Muslim untuk menerima ataupun memakan hasil penyembelihan dari Ahlul Kitab (Yahudi & Nasrani).
Begitu juga menikahi perempuan dari golongan Ahlul Kitab. Jika dikaji secara mendalam, maka kedua hukum tersebut memiliki kriteria-kriteria tertentu. Di sini penulis akan menjelaskan tentang maksud dihalalkannya memakan sesembelihan Ahlul Kitab dan apakah masih relevan pada zaman sekarang.
Dalam kitab Tafsir Jami' al-Bayan 'an Ta'wîl Ayi al-Qur'an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir AthThabari mengemukakan pendapatnya, bahwa makanan (sembelihan) orang yang diberi kitab seperti umat Yahudi diberi Taurat dan Nasrani diberi Injil itu dihalalkan bagi kita umat muslim.
Jadi, kata اُحِلَّ لَكُمُ "halal bagi kalian" di sini dikecualikan kepada semua orang musyrik yang tidak memiliki kitab, penyembah berhala/patung, begitupun orang yang beragama yang diberi kitab (Taurat dan Injil) namun tidak mangakui kaesaan Allah, maka makanan (sembelihannya) itu haram untuk dikonsumsi.
Sementara di dalam kitab Tafsir Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Imam Al-Qurthubi mengutip berbagai pendapat dengan pandangan yang berbeda tentang hal ini, seperti kutipan Ibnu Abbas bahwa,
“Sesembelihan Yahudi dan Nasrani halal untuk dimakan walaupun tidak dengan menyebut nama Allah ketika menyembelih, baik kaum Nasrani menyebut demi nama Isa ataupun kaum Yahudi menyebut demi nama Uzair ketika menyembelih. Dikarenakan mereka menyembelih atas dasar agama mereka”.
Begitu juga pendapat Atha’ bin Abi Rabah dan Al-Qasim bin Mukhaimarah bahwa, mereka lebih mengkhususkan untuk orang-orang Nasrani.
Namun berbeda dengan pendapat yang lain seperti Ali, Aisyah, dan Ibnu Umar yang lebih menegaskan tentang surah Al-An'am Ayat 121, Allah Swt:
وَلَا تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّٰهِ عَلَيْهِ وَاِنَّهٗ لَفِسْقٌ
Terjemah:
“Janganlah kamu memakan sesuatu dari (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allah. Perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan”. (QS. Al-An'am: 121)
Ayat ini menjelaskan kewajiban menyebut nama Allah dalam menyembelih hewan. Dari kedua pendapat tersebut memiliki ketentuan-ketentuan dan dalil-dalil tersendiri.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pendapat Ali, Aisyah, dan Ibnu Umar, penulis lebih condong kepada pendapat Ibnu Abbas, yang dimana menyebut nama Allah bukanlah suatu syarat dalam menyembelih. Dikarenakan jika menyebut nama Allah adalah sebuah syarat dalam menyembelih, baik dia Islam ataupun Ahli Kitab, terutama Ahli Kitab maka mereka menyebut nama Allah bukan atas dasar jalur ibadah, melainkan atas jalur yang lain.
Sangat tidak masuk akal jika menyebut nama Allah adalah syarat untuk menyembelih hewan termasuk Yahudi dan Nasrani, ini dikarenakan Allah telah melaknat mereka dan mengganggap mereka kafir sebagaimana tertuang dalam surah At-Taubah Ayat 30, Allah Swt berfirman:
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ابْنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ ذٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِاَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِـُٔوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللّٰهُ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ
Terjemah:
“Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang yang kufur sebelumnya. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At-Taubah: 30)
Sehingga disebut atau tidak disebut karena nama Allah oleh orang-orang yang kafir itu hasilnya sama. Sebab tidak tergambarkan adanya ibadah dari mereka. Pasalnya, orang-orang Nasrani pasti akan menyembelih atas nama Al-Masih/Isa. Begitu juga orang-orang Yahudi yang pasti menyembelih atas nama Yahweh/Uzair.
Namun demikian, Allah tetap menghalalkan sembelihan mereka secara mutlak. Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa menyebut nama Allah itu sama sekali tidak disyaratkan. Maka dari itu, memakan sesembelihan Ahli Kitab diperbolehkan walaupun tidak menyebut nama Allah melainkan menyebut nama Tuhan mereka.
Kontekstualisasi Ayat Pada Masa Kini
Dalam konteks pada masa kini, hukum yang telah disebutkan di ayat ini perlu dicermati dengan baik, sesembelihan dari Yahudi dan Nasrani boleh dikonsumsi walaupun mereka dari golongan musyrik dan walaupun dalam praktek penyembelihan tidak dengan menyebut nama Allah.
Contohnya: jika kita pergi ke tempat makan saji atau restoran yang menyajikan makanan daging, kita harus mengetahui tata cara penyembelihan dagingnya. Jika pengolahan dagingnya tidak melalui penyembelihan, misalkan disetrum, digiling hidup-hidup, dan semacamnya, maka diharamkan untuk memakannya dikarenakan daging tersebut telah menjadi bangkai. [dutaislam.or.id/ab]
Muhammad Nasihul Wajih, mahasiswa Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an Jakarta.