![]() |
Foto: ilustrasi tradisi nyadran. |
Dutaislam.or.id - Tradisi Nyadran bukanlah semata-mata kegiatan "tabur bunga" di makam para leluhur. Lebih dari itu, tradisi ini merupakan sebuah rangkaian ritual yang sarat dengan makna spiritual, khususnya sebagai sarana untuk mengirimkan doa kepada arwah nenek moyang.
Di dalam praktiknya, Nyadran memiliki dimensi keagamaan yang mendalam, bahkan pada kalangan tertentu seperti penganut ajaran Tantra Bairawa, tradisi ini melibatkan pelaksanaan ritual Pancamakarapuja. Ritual tersebut dipercaya sebagai jalan bagi mereka untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan batin dengan roh-roh leluhur mereka.
Secara etimologis, istilah "Nyadran" diyakini berasal dari kata "Sraddha", yang dalam konteks kepercayaan kuno merujuk pada penghormatan dan persembahan kepada arwah leluhur. Tradisi Sraddha ini merupakan satu-satunya bentuk penghormatan terhadap arwah yang berkembang luas di wilayah Asia pada kurun waktu abad ke-12 hingga ke-16 Masehi.
Tradisi ini tidak hanya hidup di tanah Jawa, tetapi juga memiliki kemiripan dengan kebudayaan serupa di wilayah Asia lainnya seperti Champa (Vietnam) dan Asia Barat. Hal ini diketahui ketika Sayyid Ibrahim Asmoroqondi datang ke Nusantara bersama keluarganya dan menyaksikan praktik tradisi tersebut yang dianggap memiliki akar atau bentuk yang serupa dengan tradisi leluhur masyarakat Islam di negeri-negeri asalnya.
Dengan berjalannya waktu, penyebaran Islam di tanah Jawa memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sistem kepercayaan dan praktik budaya masyarakat. Khususnya setelah Raden Rahmat — yang lebih dikenal sebagai Sunan Ampel — diangkat menjadi Gubernur pertama wilayah Jawa Timur, menggantikan tokoh lokal sebelumnya, Lembu Sora.
Dari pusat kekuasaannya di wilayah Ngampel, Raden Rahmat mulai memperkenalkan berbagai ajaran Islam kepada masyarakat luas. Ia tidak serta-merta menghapus tradisi yang sudah ada, melainkan secara bertahap mengajarkan nilai-nilai tauhid dan memperbaiki unsur-unsur yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Melalui pendekatan yang bijaksana dan penuh kearifan lokal, beliau perlahan-lahan menyisipkan nilai-nilai keislaman ke dalam praktik Sraddha yang awalnya kental dengan unsur mistik dan keyakinan non-Islami. Dari proses akulturasi inilah, tradisi Sraddha yang dulunya dipengaruhi oleh ajaran Tantra Bairawa mulai mengalami transformasi secara makna dan bentuk. Nama tradisi tersebut kemudian mengalami perubahan seiring perubahan nilai-nilainya, hingga akhirnya dikenal dengan sebutan "Nyadran" seperti yang kita kenal sekarang.
Tradisi Nyadran kemudian menjadi bagian dari budaya masyarakat Jawa yang terus hidup dan diwariskan secara turun-temurun. Meski kini tidak lagi identik dengan ritual-ritual kuno yang mengandung unsur animisme atau mistisisme ekstrem, Nyadran tetap dijalankan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, namun dengan corak dan nuansa keislaman yang lebih kental — seperti pembacaan tahlil, doa bersama, dan sedekah kepada masyarakat sekitar. [dutaislam.or.id/ab]